Minggu, 21 Agustus 2016

Untuk Es, dari Angin

Hallo, Es!

Saya yakin kamu tau saya. Iya, saya angin. Kita sudah kenal 3 tahun ya, bahkan lebih. Kamu pasti tahu kan kenapa saya panggil kamu Es? Kamu berubah. Kamu dingin. Teramat dingin hingga membekukan sekitarmu. Kamu jarang sekali berbicara, apalagi bicara sama saya. Tatapanmu sinis. Kamu pun tak pernah menyuguhkan senyum sama saya. Sungguh teramat menjengkelkan. Bahkan kau sering sekali mengacuhkan orang yang bicara padamu. Itu gak sopan tau.

Saya rasa kamu butuh matahari biar es yang ada di dirimu mencair. Atau mungkin, kamu baru saja kehilangan matahari? Kamu berubah setelah saya pergi. Apakah saya matahari itu? Ah tidak, pasti saya kebanyakan berharap. Sekarang kau terjebak di antara batuan-batuan es yang membeku. Kalau nyatanya seperti itu, kau harus temukan matahari lain yang bisa terus membuatmu hangat. Seperti api yang selalu saja bisa meluluhkan lilin.

Saya tau saya hanya angin bagi kamu. Kamu melihat saya saat saya tidak terlihat. Tapi saya melihatmu, saya menyapamu di kesunyian walaupun kamu tak menggubrisku. Saya yakin, sebenarnya kamu mau saya kembali. Saya yakin sebenarnya kamu itu baik pada orang banyak, tapi saya gak mau kamu dinilai buruk dimata orang-orang hanya karna si matahari itu hilang.

Dalam sekat jarak, ingin sekali ku berteriak, “Berbalik dan lihatlah, saya sedang melihatmu!” namun apa daya, saya hanya bisa memicingkan mata berusaha memaklumi keindahanmu. Saya pun hanya boleh menatapmu dari jauh, tidak untuk mendekat di kehidupanmu. Asal kamu tau, kamu adalah pertanyaan yang tak berani ku sampaikan karena saya sadar, saya bukanlah sebuah jawaban.


Saya tak mampu berbuat banyak. Kecuali memerintahkan tinta agar ia menjelma menjadi aksara, lalu menyemogakan kamu membacanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar