Hallo, Es!
Saya yakin
kamu tau saya. Iya, saya angin. Kita sudah kenal 3 tahun ya, bahkan lebih. Kamu
pasti tahu kan kenapa saya panggil kamu Es? Kamu berubah. Kamu dingin. Teramat
dingin hingga membekukan sekitarmu. Kamu jarang sekali berbicara, apalagi
bicara sama saya. Tatapanmu sinis. Kamu pun tak pernah menyuguhkan senyum sama
saya. Sungguh teramat menjengkelkan. Bahkan kau sering sekali mengacuhkan orang
yang bicara padamu. Itu gak sopan tau.
Saya rasa kamu
butuh matahari biar es yang ada di dirimu mencair. Atau mungkin, kamu baru saja
kehilangan matahari? Kamu berubah setelah saya pergi. Apakah saya matahari itu?
Ah tidak, pasti saya kebanyakan berharap. Sekarang kau terjebak di antara
batuan-batuan es yang membeku. Kalau nyatanya seperti itu, kau harus temukan
matahari lain yang bisa terus membuatmu hangat. Seperti api yang selalu saja
bisa meluluhkan lilin.
Saya tau saya
hanya angin bagi kamu. Kamu melihat saya saat saya tidak terlihat. Tapi saya
melihatmu, saya menyapamu di kesunyian walaupun kamu tak menggubrisku. Saya
yakin, sebenarnya kamu mau saya kembali. Saya yakin sebenarnya kamu itu baik
pada orang banyak, tapi saya gak mau kamu dinilai buruk dimata orang-orang
hanya karna si matahari itu hilang.
Dalam sekat
jarak, ingin sekali ku berteriak, “Berbalik dan lihatlah, saya sedang
melihatmu!” namun apa daya, saya hanya bisa memicingkan mata berusaha memaklumi
keindahanmu. Saya pun hanya boleh menatapmu dari jauh, tidak untuk mendekat di
kehidupanmu. Asal kamu tau, kamu adalah pertanyaan yang tak berani ku sampaikan
karena saya sadar, saya bukanlah sebuah jawaban.
Saya
tak mampu berbuat banyak. Kecuali memerintahkan tinta agar ia menjelma menjadi
aksara, lalu menyemogakan kamu membacanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar